Skip to main content

Lima Tahun

Apa yang bisa terjadi dalam lima tahun?
Jika dalam hitungan detik pun kita tidak tahu akan jadi apa debu-debu yang bertebaran di depan mata.
Entah melaju ke barat daya atau ke utara.
Membentuk sudut lima puluh enam derajat terhadap mata kita yang melirik tak tentu.

Tiga puluh sembilan menit kita berhadapan.
Duduk di meja sebuah kedai kopi favoritku.
Ah, aku selalu tahu kau tak menyukai kedai kopi ini.
Tapi akulah alasan jika kau ditanya mengapa bisa bertahan di tempat ini.
Tempat yang aku kunjungi tiga kali seminggu.
Itu semua karena kau menyukaiku kan?

Dan pelayan datang membawakan kopi kita.
Di situ aku melihatmu melirik lucu.
Menatap mataku yang bulunya tidak selentik milikmu.
Dan dalam lima tahun aku ingin kembali melihat tatapan itu.
Tatapan yang akan hilang dalam sepersekian detik dari saat aku menyadarinya.

Aku mendapat latte cantikku di meja.
Dan aku tau kau selalu memesan espresso.
Tidak suka manis, katamu.
Tapi aku suka manis.
Aku suka segalanya tentang senyummu.
Tentang caramu memanggil namaku.
Dan caramu mengantar aku pulang walau hanya dengan sepeda tuamu.

"Apa yang akan terjadi dalam lima tahun?"
Kamu selalu mulai mengangan-angankannya duluan.
Dan aku hanya tersenyum.
Mendengar kau bercerita tentang mimpimu.
Tentang apa yang akan kau raih.
Tentang orang yang akan mendampingimu nanti.
Dan terkadang tentang orang yang sangat kau cintai sekarang.

Manisnya latteku memang mengganggu lidahku.
Namun manisnya ceritamu mengganggu hatiku.
Saat aku sadar aku tidak pernah ada dalam ceritamu.
Dan aku memang bukan masa lalumu.
Aku bukan juga masa sekarangmu.
Dan aku jelas bukan masa depanmu.

Aku hanyalah penonton.
Penonton dalam drama yang sedang kau mainkan.
Penonton dari duniamu.
Dunia kita terbatas dinding kaca yang tak akan bisa aku lampaui.
Dan dalam lima bulan anggap saja aku tidak sanggup membayar tagihan listrik di rumahku.
Aku akan perlahan berhenti menonton acaramu di televisiku.
Berhenti mengutip kalimat yang kau katakan.
Berhenti memberi komentar sinis pada orang-orang yang menyakitimu.

Kini giliranku bertanya padamu.
"Kira-kira apa yang akan aku lakukan dalam lima tahun?"
"Semua yang memang menjadi takdir kita.", ucapmu.

Jika takdirmu bermain peran dengan salah satu penonton setiamu, kau mau apa?

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kembali

Akhirnya langkah kita tiba pada penghujung senja Yang ternyata warnanya lebih jingga dari yang kita duga Tidak apa-apa Aku tetap ada di sini Di setiap senja yang kau temui Aku tetap ada di sini Jika kau memutuskan untuk kembali Aku tetap ada di sini Meski kau tak akan pernah kembali

Sudut Ruang

Melihat ke sudut ruang seperti melihat sesuatu yang tak terlihat. Bukan, bukan tak terlihat, tapi suatu sisi yang sengaja tak ingin dilihat.  Suatu sisi yang kadang terabaikan, tapi kadang menjadi tempat bersandar untuk mencari sang sepi. Ya, jika anda ingin menemui sang sepi, pergilah ke sudut ruang. Di sana sang sepi selalu ada. Sang sepi yang selalu mencari kawan. Sang sepi yang selalu berteriak memanggil anda dari sudut ruang, teriakannya bahkan tak akan didengar. Sepi. Sepi bukan bising. Bahkan bertemn dengan bising pun tak mau. Tapi kadang sepi lebih bising dari suara-suara asing di sudut kota ini. Sang sepi ada di sudut ruang, suaranya menggema memantul dari dinding ke dinding. Tapi bising ada di sudut kota, suaranya terus mengikuti laju angin, suaranya terus berlalu dan.... Hilang. Sepi. Jadilah sang sepi yang menunggu di sudut ruang.  #SalamPurplyncess