Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2015

Kopi-Kopi

Saat itu pukul 7 malam. Aku mengingatnya. Kau meraba meja yang menghubungkan tubuh kita. Tubuh yang ingin bersama namun sebaiknya jangan. Kau meraba cangkir kopi panasmu tanpa ragu. Sesaat kemudian yang aku ingat adalah iri. Aku hanya ingin menjadi cangkir kopi panasmu. Yang kau raba dengan pasti. Yang kau kecup dengan penuh gairah. Sedetik kemudian senyummu melebar. Menampakkan deretan gigi putih yang kukenal. Dengan jarak sepersekian centi di antara masing-masingnya. Dan logikaku tak lagi berpihak. Aku mencintai setiap inci ketidaksempurnaanmu. Bagaimana guratan keningmu terbentuk tiap kau tak setuju dengan inginku. Garis-garis tanganmu yang bahkan tak lebih mulus dari tanganku. Dan setiap hela nafasmu yang aku nilai terlalu panas. Aku hanya tak bisa menjadi cangkir kopi panasmu. Aku tak bisa membuatmu tersenyum dengan sebegitu cintanya. Dan aku iri. Aku ingin menjadi cangkir kopi panasmu. Yang hangatnya menyentuh tubuhmu. Yang hangatnya menyita perhatia

Hujan Sia-Sia

Dalam naungan kemarau panjang. Engkau masih berjalan lurus. Meniti setiap tetes peluh. Namun tak jarang air mata. Dan kau tak menyerah. Dalam semua kering ilalang. Di balik sekelibat senyuman. Kau tak berpaling. Dan aku menawarkan air. Namun kering lah yang kau cari. Kemarau yang tak mungkin kau serap lagi. Panasmu menyeruak nadi. Dalam sejumput hujan yang kutawarkan. Engkau hanya menikmatinya sesaat. Dan tanpa kata meninggalkan penat. Kemarau kau jelang. Kemudian aku mencintaimu. Dalam setiap tetes hujan dan kering kemarau. Setiap daun yang mengering dan basah karena embun. Dan semua alasan tanpa logika. Dan aku masih mencintaimu. Seberapa besarnya kau menolak hujan. Seberapa seringnya kau mencari kemarau. Kemarau itu tak baik untukmu! Pergilah, kau penat. Kau hanya terjebak dalam musim tak bertuan. Dan semua dedikasi hujan. Dalam semua keringnya kemarau. Cintamu memang bukan untuk hujan. Dan hujan bersabarlah. Tetes hujan tak ada yang sia-sia.

Kertas Usang

Aku adalah selembar kertas usang. Yang kau letakkan di sela-sela bantalmu. Aku selalu mengintipmu dikala kau memimpikan dunia yang kau sendiri tak bisa menjangkaunya. Aku adalah serpihan doa yang kau ucap setiap kau hendak berlalu. Setiap kau menyibakkan rambut keritingmu di antara kabut pagi kotamu itu. Di antara asap, debu, dan berguguran, dan suara anak kecil bermain kayu di jalanan sepi. Dan aku hanyalah selembar kertas usang. Yang bahkan kau sendiri tak tahu kenapa kau harus menyimpanku. Meletakkanku dibalik bantalmu setiap hari. Membacaku, melipatku, dengan tanganmu yang penuh peluh. Dan kau masih tidak meninggalkanku. Di antara setiap lembaran pagimu. Sehabis kau basuh kedua tanganmu. Di antara roti isi dan segelas susu tawar tanpa gula yang kamu minum tiap pagi. Dan aku masih di sini. Di bawah bantalmu aku menunggu. Lekaslah pulang. Aku menantimu. #SalamPuplyncess