Saat itu pukul 7 malam. Aku mengingatnya. Kau meraba meja yang menghubungkan tubuh kita. Tubuh yang ingin bersama namun sebaiknya jangan. Kau meraba cangkir kopi panasmu tanpa ragu. Sesaat kemudian yang aku ingat adalah iri. Aku hanya ingin menjadi cangkir kopi panasmu. Yang kau raba dengan pasti. Yang kau kecup dengan penuh gairah. Sedetik kemudian senyummu melebar. Menampakkan deretan gigi putih yang kukenal. Dengan jarak sepersekian centi di antara masing-masingnya. Dan logikaku tak lagi berpihak. Aku mencintai setiap inci ketidaksempurnaanmu. Bagaimana guratan keningmu terbentuk tiap kau tak setuju dengan inginku. Garis-garis tanganmu yang bahkan tak lebih mulus dari tanganku. Dan setiap hela nafasmu yang aku nilai terlalu panas. Aku hanya tak bisa menjadi cangkir kopi panasmu. Aku tak bisa membuatmu tersenyum dengan sebegitu cintanya. Dan aku iri. Aku ingin menjadi cangkir kopi panasmu. Yang hangatnya menyentuh tubuhmu. Yang hangatnya menyita perhatia...
Still trying to recognize everything in life.