Dalam naungan kemarau panjang.
Engkau masih berjalan lurus.
Meniti setiap tetes peluh.
Namun tak jarang air mata.
Dan kau tak menyerah.
Dalam semua kering ilalang.
Di balik sekelibat senyuman.
Kau tak berpaling.
Dan aku menawarkan air.
Namun kering lah yang kau cari.
Kemarau yang tak mungkin kau serap lagi.
Panasmu menyeruak nadi.
Dalam sejumput hujan yang kutawarkan.
Engkau hanya menikmatinya sesaat.
Dan tanpa kata meninggalkan penat.
Kemarau kau jelang.
Kemudian aku mencintaimu.
Dalam setiap tetes hujan dan kering kemarau.
Setiap daun yang mengering dan basah karena embun.
Dan semua alasan tanpa logika.
Dan aku masih mencintaimu.
Seberapa besarnya kau menolak hujan.
Seberapa seringnya kau mencari kemarau.
Kemarau itu tak baik untukmu!
Pergilah, kau penat.
Kau hanya terjebak dalam musim tak bertuan.
Dan semua dedikasi hujan.
Dalam semua keringnya kemarau.
Cintamu memang bukan untuk hujan.
Dan hujan bersabarlah.
Tetes hujan tak ada yang sia-sia.
Engkau masih berjalan lurus.
Meniti setiap tetes peluh.
Namun tak jarang air mata.
Dan kau tak menyerah.
Dalam semua kering ilalang.
Di balik sekelibat senyuman.
Kau tak berpaling.
Dan aku menawarkan air.
Namun kering lah yang kau cari.
Kemarau yang tak mungkin kau serap lagi.
Panasmu menyeruak nadi.
Dalam sejumput hujan yang kutawarkan.
Engkau hanya menikmatinya sesaat.
Dan tanpa kata meninggalkan penat.
Kemarau kau jelang.
Kemudian aku mencintaimu.
Dalam setiap tetes hujan dan kering kemarau.
Setiap daun yang mengering dan basah karena embun.
Dan semua alasan tanpa logika.
Dan aku masih mencintaimu.
Seberapa besarnya kau menolak hujan.
Seberapa seringnya kau mencari kemarau.
Kemarau itu tak baik untukmu!
Pergilah, kau penat.
Kau hanya terjebak dalam musim tak bertuan.
Dan semua dedikasi hujan.
Dalam semua keringnya kemarau.
Cintamu memang bukan untuk hujan.
Dan hujan bersabarlah.
Tetes hujan tak ada yang sia-sia.
Comments
Post a Comment